• Post author:
  • Post category:Berita

[av_textblock size=” av-medium-font-size=” av-small-font-size=” av-mini-font-size=” font_color=” color=” id=” custom_class=” av_uid=’av-k9np66ag’ admin_preview_bg=”]

Pembicara kuliah umum dari kiri Prof. D.Y.P. Sugiharto, MPd, Kons, Erik Hans Schuurman, Kim Maria Christina Rooijackers, Mohammad Yusuf, PhD dan Prof. Dr, dr Rifki Muslim, SpB, SpU(K)

Semarang │Unimus (14/11/2017) Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang (FK Unimus) menggelar seminar dan kuliah umum dengan tema “Komunikasi Interpersonal yang Efektif, Efisisen dan Memadai”  di kampus 3 Unimus Jl. Wonodri Sendang Raya pada Selasa (14/11). Kegiatan diikuti oleh mahasiswa dan dosen FK Unimus. Hadir sebagai nara sumber dalam kuliah umum ini Prof. D.Y.P. Sugiharto, MPd, Kons (Koordinator Kopertis VI Jateng), Dekan FK Unimus Prof. Dr, dr Rifki Muslim, SpB, SpU(K), Kim Maria Christina Rooijackers MSC dan Erik Hans Schuurman (dari Eroasian Forum Occupational Health Netherland Belanda yang juga owner RoSch Tarining/Trainer Program Effective Communication for Doctor-Patient, Belanda) dan Mohammad Yusuf, PhD (Direktur Eksekutif International Relationship Officer  Unimus).

Dipaparkan oleh pembicara bahwa kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam karir seorang dokter sehingga sejak menjadi mahasiswa kedokteran, calon dokter harus bisa memiliki soft skill komunikasi yang baik. Soft skill komunikasi ini kelak sangat berguna bagi karir dokter kaitannya dengan komunikasi dengan pasien, keluarga pasien, rekan sejawat serta seniornya dan masyarakat pada umumnya. “Terkadang kemampuan komunikasi menjadi sangat penting, di atas pentingnya kemampuan intelektual seorang dokter. Dari sebuah penelitian di Amerika beberapa tahun lalu, di antara 20 kemampuan softskill dan hardskill yang menentukan keberhasilan pekerjaan, ternyata kemampuan komunikasi menempati urutan teratas sedangkan Indeks Prestasi (IP) menempati urutan ke 17” papar Prof. Rifky. “Bagi profesi dokter, komunikasi efektif sangat penting, 70% diagnose penyakit bisa diketahui lewat komunikasi efektif dengan pasien sedangkan 30 persen lainnya dari bantuan foto, hasil lab, USG dan alat akat lainnya. Dokter dianggap malpraktek terkadang bukan karena salah tindakan medis tetapi akibat komunikasi dokter tersebut yang jelek yang berujung dianggap malpraktek. Komunikasi yang baik sangat dibutuhkan dokter saat komunikasi dengan pasien, keluarga pasien, sesama dokter, dokter yang lebih senior dan masyarakat” tambah Dekan FK Unimus.

Prof. D.Y.P Sugiharto juga menyatakan bahwa komunikasi efektif sebagai sarana penting dokter melakukan layanan yang prima, memberi kepuasaan pasien, sekaligus sebagai strategi pemenangan kompetensi pada profesi kedokteran. “Kemampuan komunikasi ditopang dengan “amunisi” berupa empati dan kesantunan bisa menjadikan dokter menjadi sukses menjalankan profesinya. Kemampuan tersebut harus dilatih terus sampai akhirnya terinternalisasi dalam diri dokter” tandas koordinator Kopertis VI Jateng yang juga pakar psikologi Unnes tersebut.

Sementara itu Kim Maria Christina Rooijackers MSC dan Erik Hans Schuurman (psikolog dari Belanda) menyatakan kemampuan komunikasi verbal maupun non verbal sangat diperlukan dokter. “Komunikasi non verbal seperti jalinan kontak mata, gerakan tubuh, senyum dan ekspresi wajah, body language, paralanguage dan jarak komunikasi antara dokter dan pasien perlu diperhatikan. Bagaimana seorang dokter dan pasien bisa bekerjasama yang berujung pada suksesnya tindakan medis banyak dipengaruhi oleh sejauh mana pula komunikasi efektif bisa dijalankan oleh dokter dengan dukungan pasien” tandasnya.
[/av_textblock]